Monday, January 28, 2013

KEBUDAYAAN NEGARA SPANYOL



KEBUDAYAAN NEGARA SPANYOL

Spanyol merupakan sebuah negara kerajaan yang telah mengalami suatu sejarah yang menarik dan bergolak. Keadaan alam yang bergunung-gunung dan kering, menjadikannya sebuah negeri yang sukar ditaklukan.
Perjalanan sejarahnya dipengaruhi oleh banyak budaya dan negara. Akar budaya Spanyol berasal dari perpaduan budaya Latin, Visigothic Eropa, Katolik Roma, Islam Timur Tengah, dan lingkungan Mediterania. Hal ini menjadikan Spanyol sebagai sebuah bangsa dengan keragaman budaya yang tinggi.
Keragaman budaya yang tinggi dapat dilihat dari beberapa budaya populer Spanyol seperti tarian flamenco, adu banteng, bull-run, dan tomatina yang banyak mendapat pengaruh dari berbagai latar belakang budaya. Benang merah dari keragaman budaya ini adalah kecintaan akan tantangan, unsur-unsur ‘kegilaan’, chaotic yang diimbuhi suasana kontradiktif.
Di tengah keberagaman budaya tersebut, telah lama di Spanyol terjadi hegemoni kaum Basque yang mayoritas (berpusat di Madrid), terhadap kaum Catalonia yang minoritas (berpusat di Barcelona). Namun, angin segar kebebasan berhembus bagi kaum Catalonia ketika pihak pusat Basque mengalami goncangan dan penurunan di abad ke-18. Hal ini membawa semacam semangat baru nasionalisme Catalonia ke segala bidang, termasuk arsitektur. Hal inilah yang menjadi salah satu latar belakang nasionalisme karya-karya Gaudi bagi Catalonia.
Walaupun terjadi ketegangan antara kaum Basque dan kaum Catalonia, tetapi sebagai sesama budaya serumpun, budaya Spanyol secara umum (Basque) dan budaya Catalonia saling mempengaruhi dalam prakteknya. Begitu pula yang terjadi pada antara budaya Spanyol dan Gaudi (sebagai seorang Catalan). Memang, karya-karya Gaudi tidak pernah dikaitkan dengan budaya Spanyol secara keseluruhan, namun unsur-unsur budaya Spanyol secara umum yang mencerminkan keberanian, kecintaan akan tantangan, keberagaman, serta unsur ‘kegilaan’, chaotic, dan kontradiktif ada dalam semangat karya-karya Gaudi.

1. Tarian Flamenco
Salah satu contoh budaya Spanyol yang memperoleh begitu banyak pengaruh adalah tarian Flamenco. Sekarang ini tarian Flamenco dianggap sebagai salah satu bentuk budaya Spanyol secara umum. Namun, sebenarnya tarian Flamenco merupakan salah satu tarian pergaulan tradisional berasal dari Andalusia, yang terletak di wilayah selatan. Akar dari tarian Flamenco berasal dari budaya kaum Gipsi Andalusia dan budaya Islam Persia. Dengan semakin berkembangnya tarian ini di wilayah lain, tradisi musik lokal ikut mempengaruhi, seperti unsur musik tradisional Castilia. Keberagaman ini menjadikan tarian Flamenco sebuah tarian dengan genre musik yang kuat, ritmik, bertenaga, anggun dan indah.
Banyak detail dari sejarah perkembangan flamenco hilang dalam sejarah Spanyol. Hal ini disebabkan antara lain karena flamenco muncul dari kelompok sosial masyarakat bawah sehingga kurang mendapat prestise dari kalangan masyarakat menengah dan atas. Selain itu, musik dan tarian flamenco diturunkan dari generasi ke generasi melalui penampilan dalam acara komunitas sosial dan tidak dicatat dalam literatur.
Selama abad ke-18, berkembang ‘flamenco fiesta’. Dalam pesta ini, pertunjukkan tari dan musik flamenco bisa selama beberapa hari. Di sini tercipta set musik dan aturan sosial yang menjadi dasar flamenco.
Pada abad ke-19, flamenco mulai menyebar keluar dari daerah Andalusia dan mulai terbagi menjadi beberapagaya. Dan berkembang demam ‘cafe-cantante’, dimana pertunjukkan flamenco banyak digelar di cafe-cafe lokal. Penari-penari flamenco manjadi salah satu daya tarik utama publik.
Lambat laun, flamenco dan asosiasinya dengan kaum Gipsi menjadi populer di seluruh Eropa. Melancong yang ke Spanyol serasa belum ‘afdol’ jika belum menonton tarian flamenco. Sejak saat itu, Spanyol secara umum diasosiasikan dengan flamenco.
Sejak tahun 1956 hingga kini, muncul trend opera flamenca, dimana musik dan tarian flamenco dilihat sebagai pertunjukkan opera, yang secara bertahap digelar di gedung-gedung besar seperti teater dan arena adu banteng.
Instrumen
Flamenco tradisional biasanya hanya diiringi nyanyian tanpa alat musik (disebut cante). Dalam perkembangannya, nyanyian diiringi dengan:
- Gitar flamenco (toque)
- Tepukan tangan yang ritmik (palmas)
- Hentakan kaki yang ritmik (zapateado)
- Dansa (baile)
- Bandurria dan tamborin
- Castanet

2.  Adu Banteng (corrida de toros)
Karena keberagaman yang tinggi, kadang budaya Spanyol diwarnai dengan kontradiksi. Sebagai contoh, adu banteng, atau Corrida de toros bagi orang Spanyol, merupakan pertunjukan juga olah raga yang menarik dan penuh kontradiksi. Secara visual, tampilan matador dalam kostum serba gemerlap dan halus, badan yang selalu langsing dan sportif, begitu kontras dengan tampilan banteng yang gelap, solid, dan sangat ganas. Gerakan matador yang bagai tarian diakhiri dengan tebasan pedang. Lapangan berpasir yang putih pun memerah oleh darah banteng. Keindahan? Ya. Sadis? Ya juga. Kengerian bagi penonton yang tak akrab dengan tradisi ini. Namun, kemampuan matador dalam menghindar dari terjangan banteng, terlebih sikapnya yang menantang si banteng menjadi kenikmatan tersendiri. Karenanya ia bertahan, bahkan tak menunjukkan tanda-tanda bakal menyingkir dari lubuk sanubari penggemarnya di Spanyol, Portugal, Prancis Selatan, dan negara-negara Amerika Latin.
Dulu tujuan utama corrida melulu mempersiapkan banteng untuk dihabisi pedang matador. Namun tahun 1914 Juan Belmonte, seorang matador bertubuh kecil dari Andalusia, memperkenalkan pendekatan penuh resiko, yaitu mengibaskan muleta semakin dekat dengan tubuh banteng dengan gerakan-gerakan indah. Aksi menghabisi bantengnya tergeser ke nomor dua. Kemampuan matador dalam menghindar dari terjangan banteng, terlebih sikapnya yang menantang si banteng, ternyata menyerobot minat penonton.
Kehebatan matador dilihat dari keterampilannya menghindar, keindahannya dan keberaniannya berada sedekat mungkin dengan banteng. Di titik ini corrida tak lagi tinggal sebagai pertarungan antara manusi dan banteng, namun lebih sebagai pertarungan antara manusia dengan dirinya sendiri. Setiap detik dalam tampilannya, matador harus memutuskan seberapa dekat ia akan berani membiarkan banteng mendekat, dan seberapa jauh ia bisa mengempos keberanian untuk memuaskan penonton.
Sudah barang tentu matador, betapa pun jayanya selalu akrab dengan tandukan banteng. Hampir setiap matador pernah kena tanduk paling tidak sekali dan satu musim pertunjukan. Bermonte ditanduk lebih dari 50 kali. Bahkan sejak tahun 1700 dari sekitar 125 orang matador besar, 40 diantaranya tewas di arena. Itu belum termasuk banderillero atau picador yang tewas. Contoh lain, Joselito (Jose Gomez), teman sekaligus rival Belmonte, yang dipandang sebagai salah seorang matador terhebat sepanjang masa, akhirnya tewas di ujung tanduk banteng pada tahun 1920.
Adu lari dengan banteng (dalam bahasa Inggris ‘bull-run’, dalam bahasa Basque ‘entzierro’, dalam bahasa Spanyol ‘el encierro’) merupakan suatu tradisi berlari di depan banteng-banteng yang telah dilepaskan ke suatu jalan kota yang telah disekat khusus untuk acara ini. Walaupun acara ini sering diadakan di festival kota dan desa di seluruh Spanyol, namun acara bull-run yang paling terkenal adalah di festival San Fermin di Pamplona, yang disiarkan langsung di Television Espanola dan Cuatro.
Tidak seperti adu banteng yang dilakukan oleh profesional, dalam acara bull-run ini, setiap orang boleh berpartisipasi. Luka-luka menjadi hal yang lumrah dalam acara ini, baik dari partisipan yang terseruduk banteng, maupun banteng yang tanduknya tersangkut di bebatuan jalan.
Tradisi ini bermula dari upaya memindahkan banteng-banteng dari kandang di pinggir kota (dimana mereka berada pada malam harinya) menuju ke arena adu banteng. Para pemuda biasanya suka melompat ke depan banteng-banteng itu untuk menunjukkan keberanian mereka. Sejak tahun 1924 telah tercatat 15 orang meninggal di Pamplona akibat acara ini. Korban meninggal terakhir pada tahun 1995 yaitu seorang turis dari Amerika.

3. Tomatina
La Tomatina merupakan acara perang makanan dalam festival kota Bunol di wilayah Valencia yang diadakan setahun sekali pada hari rabu di akhir bulan Agustus. Ratusan orang datang dari seluruh penjuru dunia datang untuk ikut dalam timpuk-timpukan menggunakan tomat yang sudah terlalu matang.
La Tomatina merupakan bagian dari festival selama seminggu yang diisi dengan pertunjukkan musik, parade, tarian, dan pertunjukkan kembang api. Semalam sebelum Tomatina, partisipan akan berkompetisi dalam kontes memasak paella (masakan tradisional spanyol yang terdiri dari nasi, ikan, tomat, dan sayur-sayuran)
Diperkirakan turis yang datang ke acara ini mencapai 20.000-40.000 orang. Melebihi penduduk Bunol yang berjumlah 9.000. Karena akomodasi yang terbatas, akhirnya pada turis umumnya tinggal di kota Valencia dan naik bus atau kereta untuk menuju ke Bunol, yang terletak 38 km dari Valencia. Sebagai persiapan, para pemilik toko dan rumah akan menggunakan plastik besar sebagai pelapis bagian depan bangunan mereka supaya terlindung.
Festival kota Bunol ditujukan sebagai penghormatan terhadap Santa Luis Bertran dan Bunda Maria. Tomatina telah menjadi tradisi di Bunol sejak 1944. Tidak ada yang tahu persis bagaimana tradisi ini bermula. Versi yang berkembang di masyarakat mengatakan bahwa tomatina dimulai ketika terjadi perang makanan lokal yang dilakukan oleh para pemuda. Ada pula yang mengatakan bahwa tradisi ini bermula ketika penduduk melempari walikota dengan tomat dalam sebuah perayaan. Apapun yang melatarbelakanginya, timpuk-timpukan tomat ini dirasa menyenangkan sehingga diulangi tahun berikutnya, lalu tahun berikutnya lagi hingga sekarang menjadi tradisi.

Pengaruh India di Bidang Kesusasteraan

Pengaruh India di Bidang Kesusasteraan

Salah satu peninggalan India di bidang sastra yang terkenal adalah Ramayana, Mahabarata, dan kisah perang Baratayudha. Sastra India ini cukup berpengaruh terhadap budaya asli Indonesia semisal wayang. Wayang yang tadinya digunakan sebagai media pemberi nasihat tetua adat terhadap keluarga yang ditinggalkan kini memiliki trend tersendiri. Ia digunakan sebagai basis pengajaran agama dan budaya.

Tokoh-tokoh wayang yang kini terkenal adalah Pandawa Lima (Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula-Sadewa), Kurawa (Duryudana dan keluarganya), Ramayana (Hanoman, Rama, Sinta), ataupun kisah Bagavadgita (wejangan Sri Kresna atas Arjuna sebelum perang). 

Tokoh-tokoh punakawan di atas memainkan peran sentral dalam kesenian wayang. SEmentara, budaya asli Indonesia coba mengimbanginya dengan hadirkan tokoh-tokoh punakawan semisal Semar, Petruk, Gareng, atapun Bagong. Selaku pengimbang, punakawan kerap mampu menaklukan para tokoh yang berasal dari kesustareraan India.

Kini, wayang diakui sebagai budaya asli Indonesia dengan segala variannya. Di masa perkembangan Islam, wayang kerap digunakan Sunan Kalijaga guna menyebarkan Islam. Ia menciptakan cerita semisal Jamus Kalimasada, yang menceritakan kalimat syahadat dengan Semar selaku tokoh yang berikan pengajaran kepada Pandawa.

Cerita-cerita yang terkandung di dalam kesusasteraan India di atas memiliki nilai moralitas tinggi. Ia menceritakan pertempuran antara kebaikan melawan kejahatan, kelemahan-kelemahan manusia, dan bakti terhadap orang tua serta Negara. Tradisi sastra India ini justru memperkaya khasanah cerita wayang lokal Indonesia di antaranya dengan menghadirkan tokoh-tokoh serta alur cerita yang sangat variatif.
Sisa peninggalah India ini paling jelas terlihat di Bali dan sebagian masyarakat Tengger di Jawa Timur. Bali bahkan menjadi semacam daerah konservasi pengaruh India yang pernah berkembang di kepulauan nusantara. Di Bali, seni bangunan, seni ukir, seni rupa dan tari masih kental nuansa pengaruh peradaban India.

Pengaruh India di Bidang Arsitektur

Pengaruh India di Bidang Arsitektur

Arsitektur atau seni bangunan ala masa India juga bertahan hingga kini. Meski tampilannya tidak lagi serupa benar dengan bangunan Hindu-Buddha (candi), tetapi pengaruh Hindu-Buddha membuat arsitektur bangunan yang ada di Indonesia menjadi khas.

Salah satu cirri bangunan Hindu-Buddha adalah “berundak.” Sejumlah undakan umumnya terdapat di struktur bangunan candi yang ada di Indonesia. Undakan tersebut paling jelas terlihat di Candi Borobudur, bangunan peninggalan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha.

Hal yang khas dari arsitektur candi adalah adanya 3 bagian utama yaitu ‘kepala’, ‘badan’ dan ‘kaki.’ Ketiga bagian ini melambangkan ‘triloka’ atau tiga dunia, yaitu: bhurloka (dunia manusia), bhuvarloka (dunia orang-orang yang tersucikan), dan svarloka (dunia para dewa). Untuk lebih jelasnya, lihat Figure 1.



 Pengaruh sistem 3 tahap hidup religious manusia ini bertahan cukup lama. Bahkan ia banyak diadaptasi oleh bangunan-bangunan yang dibangun pada masa yang lebih kekinian. Bangunan-bangunan yang memiliki ciri seperti ini beranjak dari bangunan spiritual semisal masjid maupun profan (biasa) semisal Gedung Sate di Bandung.

Arsitektur semacam candi ini sebagian terus bertahan dan mempengaruhi bangunan-bangunan lain yang lebih modern. Misalnya, Masjid Kudus mempertahankan pola arsitektur bangunan Hindu ini. Masjid Kudus aslinya bernama Masjid Al Aqsa, dibangun Jafar Shodiq (Sunan Kudus) tahun 1549 M. Yang unik adalah, sebuah menara di sisi timur bangunan masjid menggunakan arsitektur candi Hindu.

Selain bentuk menara, sisa lain arsitektur Hindu pun terdapat pada gerbang masjid yang menyerupai gapura sebuah pura. Juga tidak ketinggalan lokasi wudhu, yang pancurannya dihiasi ornament khas Hindu.

Banyak hipotesis yang diutarakan mengapa Jafar Shodiq menempatkan arsitektur Hindu ke dalam sebuah masjid. Hipotesis pertama mengasumsikan pembangunan tersebut merupakan proses akulturasi antara budaya Hindu yang banyak dipraktekkan masyarakat Kudus sebelumnya dengan budaya Arab-Persia yang hendak dikembangkan. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi Cultural Shock yang berakibat terasingnya orang-orang pemeluk Islam baru sebab tercerabut secara tiba-tiba dari budaya mereka.

Hipotesis kedua menyatakan bahwa penempatan arsitektur Hindu diakibatkan para arsitek dan tukang yang membangun masjid menguasai gaya bangunan Hindu. Ini berakibat hasil pembangunan mereka bercorak Hindu.

Pengaruh arsitektur Hindu pun terjadi pada bangunan yang lebih kontemporer semisal Gedung Sate yang terletak di Kota Bandung. Gedung Sate didirikan tahun 1920-1924 dengan arsiteknya Ir. J. Gerber. Ornamen-ornamen di bawah dinding gedung secara kuat bercirikan ornament masa Hindu Indonesia. Termasuk pula, menara yang terletak di puncak atas gedung yang mirip dengan menara masjid Kudus atau tumpak yang ada di bangunan suci Hindu di daerah Bali.

Jika lebih didekati, maka bagian bawah dinding Gedung Sate memuat ornament-ornamen khas Hindu. Tentu saja, arsitektur Gedung Sate tidak murni berisikan arsitektur Hindu. Ia merupakan perpaduan antara arsitektur Belanda dengan Lokal Indonesia.

Bangunan modern lain yang memiliki nuansa arsitektur Hindu juga ditampakkan Masjid Demak. Nuansa arsitektur Hindu pada masjid yang didirikan tahun 1466 M misalnya tampak pada atap limas yang bersusun tiga, mirip dengan candi dimana bermaknakan bhurloka, bhuvarloka, dan svarloka. Namun, tiga makna tersebut kemudian ditransfer kearah aqidah Islam menjadi islam, iman, dan ihsan.

Ciri lainnya adalah bentuk atap yang mengecil dengan kemiringan lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Atap tertinggi yang berbentuk limasan ditambah hiasan mahkota pada puncaknya. Komposisi ini mirip meru, bangunan tersuci di pura Hindu.

Pengaruh India di Bidang Bahasa

Pengaruh India di Bidang Bahasa

Kita mungkin kerap menemui nama dan kata seperti Pustaka, Karya, Guru, Sastra, Indra, Wisnu, Wijaya, ataupun semboyan-semboyan seperti Kartika Eka Paksi ataupun Jalesveva Jayamahe. Nama-nama dalam bahasa Sanskerta tersebut merupakan suatu bukti bahwa hingga kini pun pengaruh India masih terasa kental di bumi Indonesia. Salah satu penyebabnya, budaya India merupakan budaya “asing” pertama yang sifatnya “maju” dan telah lama berasimilasi dengan budaya lokal Indonesia. Asimilasi ini kemudian diakui selaku bagian dari budaya Indonesia itu sendiri.

Jika ditelusuri ke belakang, maka bahasa yang berkembang di Indonesia dapat dibagi dua kelompok. Pertama rumpun bahasa Papua dan kedua rumpun bahasa Austronesia. Rumpun bahasa Austronesia terdiri atas 200 jenis, sementara rumpun bahasa Papua terdiri atas 150 bahasa. Rumpun bahasa Papua berkembang di wilayah timur nusantara, termasuk Timor Timur, kepulauan Maluku dan Papua Barat. Rumpun bahasa Austronesia juga merasuk ke wilayah-wilayah ini.

Jika bukti tertulis yang hendak dikedepankan dalam masalah bahasa ini, maka prasasti Muara Kaman, yang berlokasi di Kalimantan Timur, 150 km ke arah hulu Sungai Mahakam, dapat diambil selaku titik tolak tertua. Prasasti tersebut dicanangkan tahun 400 Masehi. Hal yang menarik adalah, prasasti tersebut menyuratkan adanya proses asimilasi dua budaya. Pertama Indonesia asli, kedua pengaruh India. Proses ini terlihat dari isi prasasti yang berlingkup pada perubahan nama.

Prasasti di Muara Kaman tersebut menceritakan Raja Kudungga punya putra namanya Acwawarman. Acwawarman punya tiga putra dan yang paling sakti di antara ketiganya adalah Mulawarman. Acwawarman dan Mulamarman adalah bahasa Sanskrit, sementara Kudungga adalah bukan dan kemungkinan besar adalah nama yang berkembang sebelum datangnya pengaruh India dan agama Hindu.

Sanskerta adalah bahasa yang dibawa oleh orang-orang India ini, sementara Pallawa adalah huruf yang digunakan selaku tulisannya. Sanskerta secara genealogis termasuk rumpun bahasa Indo Eropa. Termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo Eropa adalah bahasa Jerman, Armenia, Baltik, Slavia, Roman, Celtic, Gaul, dan Indo Iranian. Di Asia, rumpun bahasa Indo Iranian adalah yang terbesar, dan termasuk ke dalamnya adalah bahasa Iranian dan Indo Arya. Sanskerta ada di kelompok Indo Arya.

Mengenai fungsinya, Sanskerta adalah bahasa yang dipergunakan dalam disiplin agama Hindu dan Buddha. Dari sana, Sanskerta kemudian meluas penggunaannya selaku bahasa pergaulan dan dagang di nusantara. James T. Collins mencatat signifikansi penggunaan bahasa Sanskerta di nusantara. Menurutnya, ikatan antara bahasa Melayu (cikal-bakal bahasa Indonesia) sudah ratusan tahun. Ini ditandai bahwa sejak abad ke-7 para penganut agama Buddha di Tiongkok sanggup berlayar hanya untuk mengunjungi pusat ilmu Buddha di Sriwijaya (Sumatera Selatan).

Kunjungan ini akibat masyhurnya nusantara sebagai basis pelajaran agama Buddha dan bahasa Sanskerta. I-Ching, seorang biksu Buddha dari Tiongkok bahkan menulis 2 buku berbahasa Sanskerta di Palembang. Ia menasihati pembacanya agar singgah di Fo-shih (Palembang) untuk mempelajari bahasa dan tata bahasa Sanskerta sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke kota-kota suci Buddha di India. I-Ching mengutarakan di Palembang sendiri terdapat 1000 orang sarjana Buddha.

Posisi Sriwijaya sebagai basis pendidikan bahasa Sanskerta membuat pengaruh bahasa tersebut jadi signifikan “menular” lewat perdagangan. Seperti diketahui, Sriwijaya adalah kerajaan yang basis ekonominya perdagangan oleh sebab berlokasi di pesisir Laut Jawa.

Bahasa Sanskerta yang dibawa dari India, setelah masuk ke Indonesia tidaklah dalam bentuk murninya lagi. Di Jawa misalnya, bahasa hasil asimilasi Sanskerta dengan budaya lokal lalu dikenal dengan Kawi. Bahasa Kawi atau juga dikenal sebagai Jawa Kuno kemudian menyebar ke pulau lain. Di Sumatera Barat bahasa ini berkembang lewat kekuasaan raja-raja vassal Jawa semisal Adityawarman.

Saat itu, nusantara dikenal dengan penggunaan 3 bahasa yang punya fungsi sendiri-sendiri. Pertama bahasa Jawa Kuna sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, Melayu Kuna sebagai bahasa perdagangan, dan Sanskerta sebagai bahasa keagamaan. Di era India jadi mainstream di nusantara, Sanskerta merupakan kelompok bahasa “tinggi” yang dipakai dalam kepentingan keagamaan maupun bahasa formal suatu kerajaan.

Pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu pun terjadi. Bahasa Melayu ini merupakan lingua-franca yang dipergunakan dalam hubungan dagang antarpulau nusantara. Bahasa Melayu juga kelak menjadi dasar dari berkembangkan bahasa Indonesia selaku bahasa persatuan. Sebab itu, dapat pula dikatakan bahasa Sanskerta ini sedikit banyak punya pengaruh pula terhadap bahasa Indonesia.

Penelusuran pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu dicontohkan oleh prasasti Kedukan Bukit, Palembang. Prasasti tersebut ditemukan tanggal 29 Nopember 1920 dan diperkirakan sama tahun 683 masehi. Jejak lain penggunaan bahasa Sanskerta juga ditemukan di Talang Tuwo, Palembang (684 M, huruf Pallawa), prasasti Kota Kapur, Bangka (686 M, huruf Pallawa), prasasti Karang Brahi, Meringin, Hulu Jambi (686 M, huruf Pallawa), prasasti Gandasuli, Jawa Tengah (832 M, aksara Nagari), dan prasasti Keping Tembaga Laguna, dekat Manila, Filipina.

Sebagian bahasa Sanskerta kemudian diserap ke dalam bahasa Melayu. Ada kemungkinan 800 kosa kata bahasa Melayu merupakan hasil penyerapan dari bahasa Sanskerta. Beberapa kosa kata Sanskerta yang diserap ke dalam bahasa Melayu (juga Indonesia) antara lain :


Selain kata-kata yang sudah diserap di table atas, ada pula kosa kata yang sudah digunakan dalam prasasti-prasasti berbahasa Sanskerta sejak tahun 1303 M di wilayah Trengganu (sekarang Malaysia). Kosa kata tersebut adalah : derma, acara, bumi, keluarga, suami, raja, bicara, atau, denda, agama, merdeka, bendara, menteri, isteri, ataupun seri paduka.

Selain bahasa, huruf Pallawa yang digunakan untuk menulis kosa kata Sanskerta pun turut menyumbangkan pengaruh para huruf-huruf yang berkembang di Indonesia seperti Bugis, Sunda, ataupun Jawi.

Pengaruh Budaya India Di Indonesia

Pengaruh Budaya India Di Indonesia

Penggunaan istilah “pengaruh India” pun kiranya kurang tepat. Istilah ini sesungguhnya hendak memberikan gambaran beberapa pengaruh yang diberikan orang-orang India dan Cina yang datang dan melakukan kontak dengan penduduk kepulauan Indonesia. Kebetulan, orang-orang India dan Cina yang melakukan kontak-kontak tersebut beragama Hindu dan Buddha. Di masa-masa awal ini, Islam belumlah lagi berdiri selaku sebuah agama.

Tulisan ini pun sengaja tidak bercorak historiografis yang ketat pada dimensi kronologis suatu peristiwa. Tulisan ini lebih condong pada identifikasi sejumlah komponen material dan nonmaterial budaya yang berasal dari tradisi India-Buddha. Komponen-komponen tersebut selain punya bentuk asli juga punya dimensi sinkretis hasil percampurannya dengan kebudayaan yang berkembang di Indonesia sebelumnya.

Pengaruh India bukan pada tataran agama belaka. Pengaruh tersebut meliputi baik bahasa, bangunan, teknologi, aksara, politik, ataupun sistem sosial. Kendati sekurangnya telah teridentifikasi pengaruh awalnya sejak tahun 400-an Masehi, pengaruh India tetap dapat diidentifikasi di kehidupan Indonesia kontemporer saat ini. Jill Forshee bahkan mencatat, sejak abad pertama Masehi telah tercatat kontak-kontak antara masyarakat asli Indonesia dengan India juga Cina. Kontak ini terutama melalui jalur hubungan laut.

Koentjaraningrat mencatat, penduduk asli Indonesia telah mengembangkan sejumlah pranata social semisal “Negara.” Negara ini diantaranya dibuktikan dengan adanya prasasti Muara Kaman yang menunjukkan kerajaan Kutai dengan rajanya Kudungga. Orang-orang Indonesia ini kemudian melakukan kontak dengan para pedagang dari India. Selain di Kutai, juga berdiri kerajaan-kerajaan di Jawa Barat tepatnya di tepi sungai Cisadane, Bogor.

Koentjaraningrat juga beranggapan kerajaan-kerajaan tersebut sudah hidup makmur lewat kontak dagangnya dengan India Selatan. Raja-rajanya kemudian mengadaptasi konsep-konsep Hindu ke dalam struktur kerajaannya. Mereka mengundang para Brahmana India Selatan dari aliran Wisnu atau Brahma. Para pendeta tersebut memberi konsultasi dan nasehat mengenai struktur dan upacara-upacara keagamaan, termasuk pula bentuk Negara, organisasi Negara, dan upacara-ucapara kenegaraan menurut system India Selatan.

Dari anggapan ini, maka sesungguhnya pengaruh India tidak datang lewat penaklukan melainkan atas permintaan. Jadi, orang-orang Indonesia ini justru mengundang oleh sebab keinginan mereka hendak maju dan membuka diri. Lewat cara “undangan” inilah, kesusasteraan India dan agamanya masuk ke dalam Indonesia. Namun, yang menerima pengaruh adalah lapisan atas kekuasaan dan masyarakat di sekitar istana. Masyarakat biasa hampir kurang tersentuh oleh pengaruh ini.

Budaya Indonesia yang seperti “desa” yang egaliter perlahan berubah dengan masuknya konsep kenegaraan India Selatan yang hirarkis. Raja dianggap sebagai turunan dewa. Namun, pengaruh hirarkis ini juga tidak dapat dipukul rata. Ia terutama diadaptasi oleh kerajaan-kerajaan Indonesia yang ada di pedalaman dan mengandalkan pertanian dan penggunaan irigasi sebagai basis ekonominya. Masyarakat atau kerajaan di pesisir pantai tidak terlampau terpengaruh oleh system India Selatan ini.

Negara pesisir ini semisal Sriwijaya yang mengandalkan perdagangan sebagai basis ekonominya. Dalam Negara yang demikian, tidak diperlukan wilayah pertanian, petani yang banyak, serta pedalaman yang luas oleh sebab barang produksi dapat diperoleh lewat interaksi pertukaran. Sriwijaya pun lebih terpengaruh oleh Buddha ketimbang Hindu. Sebab itu, tidak terlalu banyak peninggalan berupa candi di Sriwijaya ketimbang di wilayah Jawa.

Sebaliknya, di Jawa lebih berkembang pengaruh Hindu. Ini akibat basis ekonomi Jawa yang kental nuansa pertaniannya. Contoh dari ini adalah kerajaan Majapahit, Kediri, Singasari, juga Mataram Kuno. Mereka adalah Negara-negara agraris. Letaknya di daerah-daerah subur lembah sungai, gunung berapi, dan rakyatnya hidup dari bercocok tanam. Akibat surplus beras, mulailah kerajaan-kerajaan Jawa ini berekspansi keluar wilayah (misalnya Majapahit) dengan mencari Negara-negara bawahan di kepulauan Nusantara.

Kerajaan Jawa tersusun secara hirarkis, dengan semua pemberkatan diutarakan kepada raja. Namun, susunan ini hanya berlangsung di level atas (palace circle) sementara masyarakat biasa hampir tidak tersetuh oleh cirri ini. Inilah yang mungkin mengakibatkan pengaruh-pengaruh lain semisal Arab-Persia dan Barat masuk dengan mudahnya ke kalangan masyarakat Indonesia.

Budaya Luar dan struktur budaya indonesia

Budaya Luar dan struktur budaya indonesia

Budaya Indonesia tumbuh lewat lintasan sejarah yang panjang. Jika budaya diartikan sebagai tata keyakinan, pemikiran, perilaku ataupun produk yang dihasilkan secara bersama, maka budaya Indonesia dapat dikatakan mengalami relativitas. Artinya, budaya yang kini berkembang di Indonesia merupakan hasil percampuran dari aneka budaya berbeda. Hasil dari percampuran tersebut hingga kini masih berada dalam tahap perubagan. Terdapat gelombang-gelombang pengaruh “luar” yang turut membentuk karakter budaya Indonesia.

Namun, pembentukan budaya oleh pengaruh “luar” bukannya hendak menganggap Indonesia “asli” tidak punya budaya spesifik. Misalnya, dalam tata keyakinan sesungguhnya “orang Indonesia” telah mengenal keesaan Tuhan. Meski dalam bentuk yang masih “proto” (tua), tokoh wayang Semar sesungguhnya telah beredar dalam tata keyakinan orang Indonesia lokal sebelum datangnya pengaruh India. Semar digambarkan meliputi seluruh sifat dan ciri yang tidak dimiliki makhluk biasa. Sementara di India atau Cina, tidak dikenal tokoh Semar yang bukan perempuan juga bukan laki-laki. Tidak senyum atau cemberut. Tokoh Semar merupakan upaya orang “asli” Indonesia mencari keberadaan Tuhan yang tunggal, dan hendak diterapkan dalam kredo keagamaan mereka.

Tulisan ini bukan hendak menelusuri dimensi prasejarah Indonesia sebelum kedatangan pengaruh India. Tulisan ini berupaya memberi gambaran tentang pembentukan budaya Indonesia pasca datangnya pengaruh “luar” yang turut membentuk karakter budaya Indonesia. Percampuran antara yang “baru” dan “lama” dari budaya yang ada merupakan titik pusat perhatian tulisan.

Datangnya Budaya “Luar”


Perlu ditegaskan terlebih dulu, pengertian budaya yang digunakan pada tulisan ini mengacu pada pendapat Kathy S. Stolley. Menurutnya, budaya terbangun dari seluruh gagasan (ide), keyakinan, perilaku, dan produk-produk yang dihasilkan secara bersama, dan menentukan cara hidup suatu kelompok. Budaya meliputi semua yang dikreasi dan dimiliki manusia tatkala mereka saling berinteraksi.

Selain itu, budaya juga dapat dibedakan menurut komponen material dan nonmaterial yang menyusunnya. Komponen material misalnya makanan, teknologi, pakaian, rumah, dan sejenisnya. Sementara komponen nonmaterial termasuk bahasa, nilai, keyakinan, tata perilaku, dan sejenisnya.

Budaya tidak statis melainkan dinamis. Budaya baru, apapun itu, tatkala memasuki suatu ranah budaya lain akan mengalami proses percampuran. Pasca percampuran tersebut, muncul suatu budaya jenis “baru” yang khas. Ia sulit disamakan begitu saja dengan yang “lama” atau “baru.” Proses percampuran budaya ini dinamakan sinkretisasi. Demikian pula budaya India dan Buddha ini, selain mempertahankan wujud-wujud aslinya, juga menampakkan pengaruh budaya “asli” Indonesia.

Metode Penetrasi Arab-Persia ke Indonesia

Metode Penetrasi Arab-Persia ke Indonesia

Metode penetrasi budaya Arab-Persia (dalam bentuk agama Islam) ke nusantara cukup bervariasi. Supartono Widyosiswoyo menyebut sekurangnya ada 6 metode yaitu: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, seni dan pelapisan sosial. Perdagangan merupakan metode penetrasi Islam yang paling kentara. Dalam proses ini, pedagang nusantara dan asing saling bertemu dan bertukar pengaruh. Pedagang asing terdiri atas pedagang Gujarat dan Timur Tengah. Mereka ini bertemu dengan para adipati wilayah pesisir yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Sebagian dari para pedagang asing ini menetap di wilayah yang berdekatan dengan pantai dan menularkan kebudayaan Arab-Persia mereka.

Perkawinan banyak dilakukan antara pedagang selaku perantau dengan putri-putri adipati. Dalam pernikahan, mempelai pria biasanya mengajukan syarat pengucapan kalimat syahadat sebagai sahnya pernikahan. Anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut mengikuti agama orang tuanya.

Tasawuf merupakan metode beragama yang banyak menarik kalangan pribumi Indonesia. Metodenya yang toleran dan tidak mengakibatkan cultural shock cukup membuat “banjir” penganut Islam baru. Tasawuf ini tidak menciptakan posisi diametral dengan budaya India ataupun tradisi lokal yang sebelumnya digenggam orang pribumi. Tokoh-tokoh tasawuf seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, ataupun Wali Songo (termasuk juga Syekh Siti Jenar) mengambil posisi kunci dalam metode penyebaran Islam lewat tasawuf ini.

Pendidikan merupakan salah satu metode penyebaran Islam. Sebelum Islam masuk, Indonesia dikenal sebagai basis pendidikan agama Buddha, khususnya perguruan Nalendra di Sumatera Selatan. Pecantrikan dan Mandala adalah “sekolah” tempat para penuntut ilmu di kalangan penduduk pra Islam. Setelah Islam masuk, peran Pecantrikan dan Mandala tersebut diambil alih dan diberi muatan Islam ke dalamnya.

Seni, tidak bisa dipungkiri, punya peran signifikan dalam penyebaran Islam. Orang Indonesia merupakan seniman-seniman yang punya kemashuran tingkat tinggi. Lewat seni inilah, Islam relatif lebih mudah diterima ketimbang metode-metode lain. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan wayang sebagai cara dakwah. Sunan Bonang menggunakan gamelan untuk melantunkan syair-syair keagamaan. Ini belum termasuk tokoh-tokoh lain yang mengadaptasi seni kerajinan lokal dan India untuk kemudian diberi muatan Islam.

Pelapisan sosial akhirnya menempati posisi kunci. Problem utama di agama sebelumnya adalah stratifikasi sosial berdasarkan kasta. Meski tidak terlampau ketat, Hindu di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi kasta sosial seperti Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra dan Paria. Utamanya, masyarakat biasa kurang “leluasa” dengan sistem ini oleh sebab mengakibatkan sejumlah keterbatasan. Lalu, Islam datang dan tidak mengenal stratifikasi sosial. Tentu saja, orang-orang Indonesia yang hendak “bebas” merespon dengan baik agama ini.

Masuknya Arab-Persia ke Indonesia

Masuknya Arab-Persia ke Indonesia

Arab-Persia berkembang lewat perantaraan bahasa Arab. Kontak antara Arab-Persia dengan kepulauan nusantara sebagian besar berlangsung di wilayah pesisir pantai. Utamanya lewat proses perdagangan antara penduduk lokal dengan para pedagang bangsa Persia, Arab, dan India Gujarat. Kontak-kontak ini, pada perkembangannya, memunculkan proses akulturisasi budaya. Arab-Persia kemudian muncul sebagai “competing” culture India.

M.C. Ricklefs dari Australian National University menyebutkan 2 proses masuknya Arab-Persia ke nusantara. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing (Arab, India, Cina) yang telah memeluk agama Islam tinggal secara tetap di suatu wilayah Indonesia, kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa, Melayu, atau suku lainnya.

Teori lain seputar masuknya Arab-Persia dari Timur Tengah ke nusantara diajukan Supartono Widyosiswoyo. Menurutnya, penetrasi tersebut dapat dibagi ke dalam 3 gelombang yaitu : Jalur Utara, Jalur Tengah, dan Jalur Selatan. Ketiga gelombang ini didasarkan pada pangkal wilayah persebaran Islam yang memasuki Indonesia.

Jalur Utara adalah proses masuknya Islam dari Persia dan Mesopotamia. Dari sana, Islam beranjak ke timur lewat jalur darat Afganistan, Pakistan, Gujarat, lalu menempuh jalur laut menuju Indonesia. Lewat Jalur Utara ini, Islam tampil dalam bentuk barunya yaitu aliran Tasawuf. Dalam aliran ini, Islam dikombinasikan dengan penguatan pengalaman personal dalam pendekatan diri terhadap Tuhan. Aliran inilah yang secara cepat masuk dan melakukan penetrasi penganut baru Islam di nusantara. Aceh merupakah salah satu basis persebaran Islam Jalur Utara ini.

Jalur Tengah adalah proses masuknya Islam dari bagian barat lembah Sungai Yordan dan bagian timur semenanjung Arabia (Hadramaut). Dari sini Islam menyebar dalam bentuknya yang relatif asli, di antaranya adalah aliran Wahabi. Pengaruh terutama cukup mengena di wilayah Sumatera Barat. Ini dapat terjadi oleh sebab dari Hadramaut perjalanan laut dapat langsung sampai ke pantai barat pulau Sumatera.

Jalur Selatan pangkalnya adalah di wilayah Mesir. Saat itu Kairo merupakan pusat penyiaran agama Islam yang modern dan Indonesia memperoleh pengaruh tertama dalam organisasi keagamaan yang disebut Muhammadiyah. Kegiatan lewat jalur ini terutama pendidikan, dakwah, dan penentangan bid’ah.

Petunjuk tegas pertama seputar munculnya Islam di nusantara adalah ditemukannya nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608H atau 1211 M, di pemakaman Lamreh, Sumatera bagian Utara. Nisan ini sekaligus menunjukkan adanya kerajaan Islam pertama di nusantara. Mazhab yang berkembang di wilayah Sumatera bagian Utara awal perkembangan Islam ini, menurut Ibnu Battuta (musafir Maroko) adalah Syafi’i.

Semakin signifikannya pengaruh Arab-Persia di nusantara adalah dengan berdirinya sejumlah kerajaan. Jean Gelman-Taylor mencatat di Ternate (Maluku) penguasanya melakukan konversi ke Islam tahun 1460. Di Demak, penguasanya mendirikan kota muslim tahun 1470, sementara kota-kota pelabuhan di sekitarnya seperti Tuban, Gresik, dan Cirebon menyusul pada tahun 1500-an. Sekitar tahun 1515 pelabuhan Aceh memiliki penguasa Islam, disusul Madura pada 1528, Gorontalo 1525, Butung 1542. Tahun 1605 penguasa Luwuk, Tallo, dan Gowa (Sulawesi Selatan) masuk Islam dan 1611 semenanjung Sulawesi Selatan telah dikuasai penguasa Islam.

Pada perkembangannya, terjadi proses saling pengaruh antara Arab-Persia yang sudah berakulturisasi dengan budaya lokal dengan Arab-Persia yang masuk dari wilayah Timur Tengah. Ini terutama semakin mengemuka di saat berkuasanya rezim Ibnu Saud yang menggunakan Wahhabi sebagai paham keislamannya. Tulisan ini tidak akan menyentuh bagaimana konflik yang berlangsung antara kedua tipologi Islam tersebut. Tulisan hanya menghampiri sejumlah pengaruh yang dibawa Islam ke dalam budaya-budaya yang berkembang di Indonesia.

Pengaruh Budaya Arab-Persia di Bidang Bahasa

Pengaruh Budaya Arab-Persia di Bidang Bahasa

Awalnya, konversi Islam terjadi di semenanjung Malaya dan sekitarnya. Menyusul konversi tersebut, penduduknya meneruskan penggunaan bahasa Melayu. Melayu ini digunakan sebagai bahasa dagang dan banyak digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia. Sesuai dengan perkembangan awal Arab-Persia, bahasa Melayu pun telah memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari kosakata bahasa Melayu merupakan adaptasi dari bahasa Arab. Selain itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal sebagai huruf Jawi.

Seiring naiknya Islam sebagai agama dominan di kepulauan nusantara, terjadi pula adaptasi bahasa yang digunakan Islam. Ini diantaranya merasuk ke struktur penanggalan Saka yang menjadi mainstream di kebudayaan India. Misalnya, nama-nama bulan Islam kemudian disinkretisasi oleh Sultan Agung (Mataram Islam) ke dalam sistem penanggalan Saka. Penanggalan Saka berbasiskan penanggalan Matahari (mirip Gregorian), sementara penanggalan Islam berbasis peredaran Bulan.

Sultan Agung pada 1625 mendekritkan perubahan penanggalan Saka menjadi penanggalan Jawa yang banyak dipengaruhi budaya Arab-Persia. Nama-nama bulan yang digunakan adalah 12, sama dengan penanggalan Hijriyah (versi Islam). Demikian pula, nama-nama bulan mengacu pada bahasa bulan Arab yaitu Sura (Muharram), Sapar (Safar), Mulud (Rabi’ul Awal), Bakda Mulud (Rabi’ul Akhir), Jumadilawal (Jumadil Awal), Jumadilakir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Sela (Dzulqaidah), dan Besar (Dzulhijjah). Namun, penanggalan hariannya tetap mengikuti penanggalan Saka oleh sebab penanggalan harian Saka saat itu paling banyak digunakan penduduk.

Selain masalah pembagian bulan, bahasa Arab pun merambah ke struktur kosakata. Sama dengan sejumlah bahasa Sanskerta yang akhirnya diakui selaku bagian dari bahasa Indonesia, sejumlah kata Arab pun akhirnya masuk ke dalam struktur bahasa Indonesia, yang di antaranya adalah :



Bahasa Arab ini bahkan semakin signifikan di abad ke-18 dan 19 di Indonesia, di mana masyarakat nusantara lebih dapat membaca huruf Arab ketimbang Latin. Bahkan, di masa kolonial Belanda ini, mata uang ditulis dalam huruf Arab Melayu, Arab Pegon, ataupun Arab Jawi. Tulisan Arab pun kerap masih diketemukan di dalam tulisan batu nisan.

Berkembangnya Pesantren


Salah satu wujud pengaruh Arab-Persia yang secara budaya lebih sistemik adalah pesantren. Asal katanya kemungkinan “shastri” yang berarti “orang-orang yang tahu kitab suci agama Hindu” dari bahasa Sanskerta. Atau, “cantrik” dari bahasa Jawa yang berarti “orang yang mengikuti kemana pun gurunya pergi. Fenomena pesantren sesungguhnya telah berkembang sebelum Arab-Persia masuk. Pesantren saat itu menjadi tempat pendidikan dan pengajaran agama Hindu. Setelah Arab-Persia masuk, materi dan proses pendidikan di pesantren diambilalih oleh Islam.

Pesantren pada dasarnya sebuah asrama pendidikan Islam tradisional. Siswa tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang dikenal dengan sebutan Kyai. Asrama siswa berada di dalam kompleks pesantren di mana kyai berdomisili. Dengan kata lain, pesantren dapat diidentifikasi dengan adanya 5 elemen pokok yaitu : pondok, masjid, santri, kyai, dan kitab-kitab klasik.

Seputar peran signifikan pesantren ini, Harry J. Benda menyebut bahwa sejarah Islam ala Indonesia adalah sejarah memperbesarkan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan keagamaan, sosial, dan ekonomi di Indonesia. Melalui pesantren ini, budaya Arab-Persia dikembangkan dan beradaptasi terhadap budaya lokal yang berkembang di sekitarnya.

Sarana Peribadatan


Masjid adalah tempat beribadah bagi kalangan Islam. Masjid-masjid awal yang terbentuk pasca penetrasi Arab-Persia ke nusantara cukup berbeda dengan yang berkembang di Timur Tengah. Di antaranya adalah, tidak terdapatnya kubah di puncak bangunan. Kubah ini tergantikan dengan semacam “meru” yaitu susunan limas (biasanya tiga tingkat atau lima) serupa dengan bangunan-bangunan Hindu. Masjid Banten memiliki meru 5 lingkat, sementara masjid Kudus dan Demak 3 tingkat. Namun secara umum, bentuk bangunan dinding yang bujur sangkar adalah sama dengan yang berkembang di budaya induknya.

Lalu, di Indonesia menara masjid biasanya tidak dibangun. Peran menara ini digantikan oleh bedug atau tabuh yang menandai masuknya waktu shalat. Setelah bedug atau tabuh dibunyikan, mulailah panggilan sembahyang dilakukan. Namun, ada pula menara yang dibangun semisal di masjid Kudus dan Demak. Uniknya, bentuk menara mirip dengan bangunan candi Hindu. Meskipun kini wujud masjid yang dibangun di Indonesia telah dilengkapi menara, tetapi bangunan-bangunan masjid jauh di masa sebelumnya masih mempertahankan bentuk lokalnya.

Pengaruh Arab-Persia atas Pusaradi Indonesia

Pengaruh Arab-Persia atas Pusaradi Indonesia

Makam adalah lokasi dikebumikannya jasad seseorang pasca meninggal dunia. Setelah pengaruh Arab-Persia, makam seorang berpengaruh tidak lagi diwujudkan ke dalam bentuk candi melainkan Cuma sekadar “cungkup.” Juga, di lokasi tubuh dikebumikan ditandai oleh nisan. Nisan ini merupakan bentuk penerapan Arab-Persia di Indonesia. Nisan Indonesia bukan sekadar batu, melainkan juga terdapat ukiran yang menandai nama siapa yang dikebumikan.

Kesenian

Seni Ukir. Ajaran Islam (terutama di Saudi Arabia) melakukan pelarangan kreasi makhluk bernyawa ke dalam seni. Larangan ini pun dipegang teguh oleh orang-orang Islam Indonesia. Sebagai penggantinya, mereka aktif membuat kaligrafi dan ukiran yang “tersamar”. Misalnya bentuk dedaunan, bunga, bukit-bukit karang, pemandangan, serta garis-garis geometris. Termasuk ke dalamnya pembuatan kaligrafi huruf Arab. Ukiran seperti ini terdapat di Masjid Mantingan dekat Jepara, daerah Indonesia yang memang terkenal karena seni ukirnya.

Sastra. Seperti pengaruh India, Arab-Persia pun memberi pengaruh terhadap seni sastra nusantara. Sastra yang dipengaruhi Islam ini terutama berkembang di daerah sekitar Selat Malaka dan Jawa. Di sekitar Selat Malaka merupakan perkembangan baru, sementara di Jawa merupakan kembangan dari sastra Hindu-Buddha.

Para sastrawan Islam melakukan penggubahan-penggubahan baru terhadap Mahabarata, Ramayana, dan Pancatantra. Hasil gubahan ini misalnya Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat Seri Rama, Hikayat Maharaja Rawana, Hikayat Panjatanderan. Di Jawa, muncul sastra-sastra lama yang dipengaruhi Islam semisal Bratayuda, Serat Rama, Arjuna Sasrabahu.

Di Melayu berkembang Sya’ir, terutama yang digubah Hamzah Fansuri berupa suluk (kitab yang membentangkan persoalan tasawuf). Suluk yang digubah Fansuri ini diantaranya Sya’ir Perahu, Sya’ir Si Burung Pingai, Asrar al-Arifin, dan Syarab al Asyiqin.

Pengaruh Jepang Atas Budaya Indonesia

Pengaruh Jepang Atas Budaya Indonesia

Kendati singkat masa kolonialisasinya, Jepang menyisakan sejumlah pengaruh kepada kebudayaan Indonesia. Di antaranya adalah struktur masyarakat. Awalnya Indonesia hanya mengenal desa selaku susunan pemerintahan terkecil. Namun, seiring dengan berkembangnya pemerintahan Jepang struktur tersebut kembali dibagi menjadi Rukun Warga dan Rukun Tetangga, di mana sistem tersebut diaplikasikan di Jepang sendiri dengan nama Tonarigumi.

Pembentukan RT dan RW oleh Jepang didasarkan alasan kemudahan administrasi dan kontrol. Jadi, bukan seperti desa asli Indonesia yang tumbuh alami, “tonarigumi” digunakan sebagai upaya kendali dan mobilisasi Jepang atas penduduk Indonesia. Ironisnya, upaya ini justru dilestarikan oleh pemerintah Indonesia oleh sebab hingga kini RT dan RW tetap dipertahankan selaku unit administratif terkecil.

PENGARUH BUDAYA ASING BAGI BUDAYA BANGSA INDONESIA

 PENGARUH BUDAYA ASING BAGI BUDAYA BANGSA INDONESIA

Kepulauan Indonesia, pada zaman kuno terletak pada jalur perdagangan antara dua pusat perdagangan kuno, yaitu India dan Cina. Letaknya dalam jalur perdagangan internasional ini memberikan pengaruh yang sangat besar pada perkembangan sejarah kuno Indonesia. Kehadiran orang India di kepulauan Indonesia memberikan pengaruh yang sangat besar pada perkembangan di berbagai bidang di wilayah Indonesia.
Hal itu terjadi melalui proses akulturasi kebudayaan, yaitu proses percampuran antara unsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain sehingga terbentuk kebudayaan yang baru tanpa menghilangkan sama sekali masing-masing ciri khas dari kebudayaan lama.

Pengaruh Budaya Vietnam bagi budaya bangsa Indonesia pada Masyarakat Prasejarah Indonesia
Masuknya kebudayaan asing merupakan salah satu faktor yang membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Kebudayaan tersebut yaitu Kebudayaan Dongson, Kebudayaan Bacson-Hoabich, Kebudayaan Sa Huynh, dan Kebudayaan India. Kebudayaan Dongson, Kebudayaan Bacson-Hoabich, Kebudayaan Sa Huynh terdapat di daerah Vietnam bagian Utara dan Selatan.

Masyarakat Dongson hidup di lembah Sungai Ma, Ca, dan Sungai Merah, sedang masyarakat Sa Huynh hidup di Vietnam bagian Salatan. Ada pada tahun 40.000 SM- 500 SM. Kebudayaan tersebut berasal dari zaman Pleistosein akhir. Proses migrasi ke tiga kebudayaan tersebut berlangsung antara 2000 SM-300 SM. Menyebabkan menyebarnya migrasi berbagai jenis kebudayaan Megalithikum (batu besar), Mesolitikum (batu madya),Neolithikum (batu halus), dan kebudayaan Perunggu. Terdapat 2 jalur penyebaran kebudayaan tersebut:
1.      Jalur barat, dengan peninggalan berupa kapak persegi
2.      Jalur Timur, dengan ciri khas peninggalan kebudayaan kapak lonjong. Pada zaman perunggu, kapak lonjong ditemukan di Formosa, Filipina, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya.


A. BUDAYA BACSON-HOABINH
§         Diperkirakan berasal dari tahun 10.000 SM-4000 SM, kira-kira tahun 7000 SM.
§         Awalnya masyarakat Bacson-Hoabinh hanya menggunkan alat dari gerabah yang sederhana berupa serpihan-serpihan batu tetapi pada tahun 600 SM mengalami dalam bentuk batu-batu yang menyerupai kapak yang berfungsi sebagai alat pemotong. Bentuknya ada yang lonjong, segi empat, segitiga, dan ada yang berbentuk berpinggang. Ditemukan pula alat-alat serpih, batu giling dari berbagai ukuran, alat-alat dari tulang dan sisa-sisa tulang belulang manusia yang dikuburkan dalam posisi terlipat serta ditaburi zat warna merah.
§         Ditemukan dalam  penggalian di pegunungan batu kapur di daerah Vietnam bagian utara, yaitu di daerah Bacson pegunungan Hoabinh.
§         Istilah Bacson-Hoabinh digunakan sejak tahun 1920-an untuk menunjukkan tempat pembuatan alat-alat batu yang memiliki ciri dipangkas pada satu/ dua sisi permukaannya. Batu kali yang berukuran lebih kurang satu kepalan dan seringkali seluruh tepiannya menjadi bagian yang tajam. Ditemukan di seluruh wilayah Asia Tenggara, hingga Myanmar (Burma) di barat dan ke utara hingga propinsi-propinsi Selatan, antara 1800 dan 3000 tahun yang lalu.
§         Di Indonesia, alat-alat dari kebudayaan Bacson-Hoabinh dapat ditemukan di daerah Sumatera, Jawa (lembah Sungai Bengawan Solo), Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua (Irian Jaya). Di Sumatera letaknya di daerah Lhokseumawe dan Medan.
§         Penyelidikan tentang persebaran kapak Sumatera dan kapak Pendek membawa kita melihat daerah Tonkin di Indocina dimana ditemukan pusat kebudayaan Prasejarah di pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh yang letaknya saling berdekatan.
§         Alat-alat yang ditemukan di daerah tersebut menunjukkan kebudayaan Mesolitikum. Dimana kapak-kapak tersebut dikerjakan secara kasar. Terdapat pula kapak yang sudah diasah tajam, hal ini menunjukkan kebudayaan Proto Neolitikum. Diantara kapak tersebut terdapat jenis pebbles yaitu kapak Sumatera dan kapak pendek.
§         Mme Madeline Colani, seorang ahli prasejarah Perancis menyebutkan/ memberi nama alat-alat tersebut sebagai kebudayaan Bacson-Hoabinh. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa Tonkin merupakan pusat kebudayaan Asia Tenggara. Dari daerah tersebut kebudayaan ini sampai ke Indonesia melalui Semenanjung Malaya (Malaysia Barat) dan Thailand.
§         Di Tonkin tinggal 2 jenis bangsa, yaitu Papua Melanosoid dan Europaeide. Selain itu ada jenis Mongoloid dan australoid.
1.      Bangsa Papua Melanosoid, merupakan bangsa yang daerah penyebarannya paling luas, meliputi Hindia Belakang, Indonesia hingga pulau-pulau di Samudera Pasifik. Bangsa ini memiliki kebudayaan Mesolitikum yang belum di asah (pebbles).
2.      Bangsa Mongoloid, merupakan bangsa yang memiliki kebudayaan yang lebih tinggi, yaitu proto-neolitikum (sudah diasah).
3.      Bangsa Austronesia, merupakan percampuran dari bangsa Melanesoid dan Europaeide. Pada zaman Neolitikum bangsa ini tersebar ke seluruh Kepulauan Indonesia.

Pengaruh Belanda dan Portugis atas Budaya Indonesia

Pengaruh Belanda dan Portugis atas Budaya Indonesia

Kini kerap muncul stereotype yang bernada negatif terhadap budaya Barat. Utamanya di Indonesia, budaya Barat dikenal terimplementasi lewat kekuasaan colonial. Barat yang dimaksud di dalam tulisan ini adalah Negara-negara Eropa, terutama Belanda, yang melakukan tindak kolonialisasi atas kepulauan nusantara.

Sesungguhnya, terdapat sejumlah pengaruh “Barat” yang hingga kini terus membekas di dalam struktur kebudayaan Indonesia. Utamanya di dalam sistem pendidikan Indonesia. Pendidikan merupakan salah satu komponen nonmaterial kebudayaan yang punya peran signifikan dalam melestarikan suatu budaya. Selain pendidikan, mekanisme administratif pemerintahan Belanda juga punya pengaruh tersendiri dalam pembentukan sistem sosial (politik) Indonesia.

Tidak hanya Belanda, Negara-negara Timur Jauh seperti Cina dan Jepang pun memberikan derajat pengaruh tertentu bagi perkembangan sistem sosial dan budaya Indonesia. Jepang, tentu saja, memberikan pengaruh secara koersif, yaitu lewat penjajahan singkat mereka atas Indonesia. Sementara Cina, yang telah punya hubungan dengan kepulauan nusantara jauh sebelum Arab-Persia menyentuh Indonesia, telah membentuk derajat pengaruh tersendiri.

Bangsa Barat yang memberikan pengaruh cukup membekas adalah Portugis dan Belanda. Terutama Belanda, budaya bangsa-bangsa ini sebagiannya telah terserap dan masuk ke dalam struktur budaya bangsa Indonesia. Namun, bekas pengaruh ini kurang begitu kuat mengenai di dalam kesadaran orang Indonesia yang mungkin akibat perbedaan “blue print” budayanya. Barat, sesuai namanya, merupakan produk perkembangan di bilangan barat dunia yang menekankan individualitas dan kebebasan. Sementara Indonesia merupakan bagian bangsa timur yang menghendaki harmoni, komando, dan kolektivitas.

Koentjaraningrat mencatat, pengaruh kebudayaan barat di Indonesia dimulai aktivitas perdagangan Portugis pada paruh pertama abad ke-16. Tahun 1511 Portugis menaklukan Malaka, pelabuhan dagang di sebelah barat kepulauan Indonesia. Penaklukan tersebut membuat Portugis mampu mengendalikan aspek-aspek penting kehidupan masyarakat di sana. Tatkala penaklukan tersebut, Arab-Persia tengah bertumbuh selaku budaya baru yang berangsur menjadi mainstream di kepulauan Indonesia. Konflik yang kemudian terjadi kemudian kerap secara mudah dideduksi menjadi konflik Barat versus Arab-Persia.

Kemudian tahun 1641 Belanda merebut Malaka dari Portugis. Sebelumnya, tahun 1619 Belanda telah membangun benteng yang kuat di Batavia seraya menguasai Banten, pelabuhan dagang lain yang penting. Tahun 1755 Belanda melakukan perjanjian Gianti dengan Mataram Islam, kerajaan yang merupakan rival Belanda dalam menguasai jalur dagang.

Dalam perjanjian Gianti, Mataram dipecah menjadi Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegara. Tahun 1799, VOC selaku perusahaan swasta yang bergerak di Indonesia bangkrut. Mulai tahun tersebut Belanda mengatasnamakan Kerajaan Belanda dalam mengelola Indonesia.

Tahun 1824 Belanda menukar Singapura, wilayah yang dikuasainya dengan pihak Inggris. Sebagai penggantinya, Belanda memperoleh Bengkulu yang berlokasi di bagian bagian selatan barat pulau Sumatera. Tahun 1837 Belanda menguasai Sumatera Barat setelah usai Perang Paderi. Tahun 1883, Tanah Batak masuk ke dalam kekuasaan Belanda setelah berpayah-payah menaklukan orang Batak Toba.

Tahun 1894, Lombok masuk ke kekuasaan Belanda disusul Bali pada tahun 1906 setelah Perang Badung. Aceh baru masuk ke dalam kekuasaan Belanda pada 1903, itu setelah perang 30 tahun yang berlangsung sejak 1873. Dari paparan di atas, kekuasaan Belanda atas Indonesia berlangsung secara gradual di mana wilayah yang satu dikuasai terlebih dulu ketimbang lainnya.

Belanda. Bernard H.M. Vlekke mencatat mengenai pengaruh Belanda atas Indonesia ini dan membaginya ke dalam 3 bagian. Pertama, pengaruh di Sumatera dan Kalimantan di mana pengaruh orang Eropa hampir tidak berpengaruh terhadap kehidupan pribumi. Kedua, pengaruh di Indonesia bagian timur di mana pengaruhnya kuat tetapi menindas. Ketiga, di Jawa di mana Belanda mulai mencengkeramkan pengaruh mereka hingga ke pedalaman dan menimbulkan perubahan struktur sosial dan ekonomi orang Indonesia.

Di Jawa, Maluku dan Sulawesi Utara berkembang pelapisan sosial. Lapisan pertama adalah kaum buruh yang telah meninggalkan budaya tani mereka untuk kemudian menjadi pelayan rumah tangga Eropa, tukang, atau buruh industry. Lapisan kedua adalah kaum pegawai (priyayi) yang bekerja di belakang meja tulis dan harus menempuh pendidikan Belanda terlebih dahulu. Selain itu, ada pula “lapisan ketiga” yaitu kelas menengah baru pribumi yang melakukan kegiatan dagang di bidang-bidang yang belum tersentuh pengusaha Cina dan Asia lain seperti rokok kretek, batik, tenun, ataupun kerajinan tangan. Pola-pola pelapisan sosial seperti ini belumlah ada di masa lampau.

Salah satu pengaruh peradaban Barat (Belanda) di struktur budaya Indonesia adalah pendidikan. Sistem pendidikan Belanda (barat) kemudian menggantikan sistem pendidikan lokal yang berupa pecantrikan dan mandala. Juga, sekolah-sekolah Belanda mulai menyaingi pesantren, lembaga pendidikan yang banyak dipengaruhi budaya Arab-Persia.

Sekolah, sebagai basis proses pendidikan formal Indonesia saat ini, mendapat pengaruh dari Belanda ini. Namun, awalnya sistem persekolahan Belanda ini bersifat diskriminatif. Ada sekolah khusus orang Belanda dan Eropa seperti Erupesche Lagere School (ELS), untuk anak-anak Tionghoa semisal Hollands Chinese School, ataupun Indlansche School untuk anak-anak pribumi. Ciri yang umum dari sistem pendidikan Belanda ini adalah jenjang pendidikan berdasarkan tahun. Misalnya suatu jenjang pendidikan dasar ditempuh selama 5 atau enam tahun dan lanjutannya selama 3 tahun.

Sistem pendidikan mulai serius digarap Belanda sejak abad ke-18 dan semakin tegas tatkala Politik Etis diberlakukan tahun 1911 lewat tokohnya, Van Deventer. Sebelum Politik Etis, tujuan pembentukan sistem pendidikan bagi orang Indonesia adalah penyediaan tenaga ahli dan murah di bidang administrasi. Ini guna mengimbangi semakin luasnya wilayah kekuasaan Belanda berikut pengadministrasiannya.

Peninggalan budaya Belanda lainnya adalah rumah tinggal. Seperti diketahui, orang-orang Belanda kebanyakan tinggal di sentra-sentra kegiatan ekonomi di mana tanah dan material bangunannya cukup mahal. Sebab itu, banyak orang Belanda mengkonstruksi ruko (rumah sekaligus toko). Ruko ini pun marak dipakai oleh penduduk Tionghoa di kota-kota Indonesia. Di masa sekarang, bentuk “ruko” ini cukup banyak bertebaran, terutama di kota-kota besar.

Selain orang biasa, konstruksi banguna Belanda juga banyak dipakai oleh keluarga-keluarga “priyayi” Indonesia. Misalnya raja-raja Indonesia seperti di Banten dan Yogyakarta membangun rumah kediaman mereka serupa dengan konstruksi rumah-rumah Belanda. Tepatnya puri Belanda, yang juga berfungsi sebagai basis pertahahan terakhir tatkala terjadi perang.

Gedung perkantoran Belanda di Indonesia dibangun dengan gaya Yunani-Romawi Kuno. Cirinya adalah bangunannya besar-besar, pilar besar dan tinggi di bagian depan, hiasan doria dan ionia dari Yunani.

Portugis. Selain bangunan, orang Eropa yang pernah menjajah Indonesia juga mendirikan semacam pemukiman. Ini misalnya Tugu di Jakarta Utara di mana orang Portugis dan turunannya menggabungkan diri. Juga di Depok, Jawa Barat di mana orang Belanda beranak pinak. Kendati kini sudah menipis jumlahnya, dari wilayah tersebut dikenal beberapa budaya semisal musik Kroncong Tugu sebagai bentuk seni musik Portugis.

Masyarakat kampung Tugu lokasinya di daerah Semper, Koja, Jakarta Utara hingga kini masih dapat ditemui. Penduduk awalnya berasal dari berbagai koloni Portugis di Malaka, Pantai Malabar, Kalkuta, Surate, Coromandel, Goa, dan Srilanka. Pada abad ke-17 mereka diboyong colonial Belanda ke Batavia sebagai tawanan perang. Di Batavia mereka ditempatkan di Gereja Portugis (sekarang Gereja Sion di Jl. Pangeran Jayakarta). Kemudian sebagian besar mereka pindah ke Kampung Tugu.

Beberapa kosa kata Indonesia diambil dari bahasa Portugis. Kosa kata ini misalnya biola (viola), meja (mesa), mentega (manteiga), pesiar (passear), pigura (figura), pita (fita), sepatu (sapato), serdadu (soldado), cerutu (charuto), tolol (tolo), jendela (janela), algojo (algoz), bangku (banco), bantal (avental), bendera (bandeira), bolu (balo), boneka (boneca), armada, bola, pena, roda, ronda, sisa, tenda, dan tinta.