Budaya Luar dan struktur budaya indonesia
Budaya
Indonesia tumbuh lewat lintasan sejarah yang panjang. Jika budaya
diartikan sebagai tata keyakinan, pemikiran, perilaku ataupun produk
yang dihasilkan secara bersama, maka budaya Indonesia dapat dikatakan
mengalami relativitas. Artinya, budaya yang kini berkembang di Indonesia
merupakan hasil percampuran dari aneka budaya berbeda. Hasil dari
percampuran tersebut hingga kini masih berada dalam tahap perubagan.
Terdapat gelombang-gelombang pengaruh “luar” yang turut membentuk
karakter budaya Indonesia.
Namun, pembentukan budaya oleh pengaruh “luar” bukannya hendak menganggap Indonesia “asli” tidak punya budaya spesifik. Misalnya, dalam tata keyakinan sesungguhnya “orang Indonesia” telah mengenal keesaan Tuhan. Meski dalam bentuk yang masih “proto” (tua), tokoh wayang Semar sesungguhnya telah beredar dalam tata keyakinan orang Indonesia lokal sebelum datangnya pengaruh India. Semar digambarkan meliputi seluruh sifat dan ciri yang tidak dimiliki makhluk biasa. Sementara di India atau Cina, tidak dikenal tokoh Semar yang bukan perempuan juga bukan laki-laki. Tidak senyum atau cemberut. Tokoh Semar merupakan upaya orang “asli” Indonesia mencari keberadaan Tuhan yang tunggal, dan hendak diterapkan dalam kredo keagamaan mereka.
Tulisan ini bukan hendak menelusuri dimensi prasejarah Indonesia sebelum kedatangan pengaruh India. Tulisan ini berupaya memberi gambaran tentang pembentukan budaya Indonesia pasca datangnya pengaruh “luar” yang turut membentuk karakter budaya Indonesia. Percampuran antara yang “baru” dan “lama” dari budaya yang ada merupakan titik pusat perhatian tulisan.
Namun, pembentukan budaya oleh pengaruh “luar” bukannya hendak menganggap Indonesia “asli” tidak punya budaya spesifik. Misalnya, dalam tata keyakinan sesungguhnya “orang Indonesia” telah mengenal keesaan Tuhan. Meski dalam bentuk yang masih “proto” (tua), tokoh wayang Semar sesungguhnya telah beredar dalam tata keyakinan orang Indonesia lokal sebelum datangnya pengaruh India. Semar digambarkan meliputi seluruh sifat dan ciri yang tidak dimiliki makhluk biasa. Sementara di India atau Cina, tidak dikenal tokoh Semar yang bukan perempuan juga bukan laki-laki. Tidak senyum atau cemberut. Tokoh Semar merupakan upaya orang “asli” Indonesia mencari keberadaan Tuhan yang tunggal, dan hendak diterapkan dalam kredo keagamaan mereka.
Tulisan ini bukan hendak menelusuri dimensi prasejarah Indonesia sebelum kedatangan pengaruh India. Tulisan ini berupaya memberi gambaran tentang pembentukan budaya Indonesia pasca datangnya pengaruh “luar” yang turut membentuk karakter budaya Indonesia. Percampuran antara yang “baru” dan “lama” dari budaya yang ada merupakan titik pusat perhatian tulisan.
Datangnya Budaya “Luar”
Perlu
ditegaskan terlebih dulu, pengertian budaya yang digunakan pada tulisan
ini mengacu pada pendapat Kathy S. Stolley. Menurutnya, budaya
terbangun dari seluruh gagasan (ide), keyakinan, perilaku, dan
produk-produk yang dihasilkan secara bersama, dan menentukan cara hidup
suatu kelompok. Budaya meliputi semua yang dikreasi dan dimiliki
manusia tatkala mereka saling berinteraksi.
Selain itu, budaya juga dapat dibedakan menurut komponen material dan nonmaterial yang menyusunnya. Komponen material misalnya makanan, teknologi, pakaian, rumah, dan sejenisnya. Sementara komponen nonmaterial termasuk bahasa, nilai, keyakinan, tata perilaku, dan sejenisnya.
Budaya tidak statis melainkan dinamis. Budaya baru, apapun itu, tatkala memasuki suatu ranah budaya lain akan mengalami proses percampuran. Pasca percampuran tersebut, muncul suatu budaya jenis “baru” yang khas. Ia sulit disamakan begitu saja dengan yang “lama” atau “baru.” Proses percampuran budaya ini dinamakan sinkretisasi. Demikian pula budaya India dan Buddha ini, selain mempertahankan wujud-wujud aslinya, juga menampakkan pengaruh budaya “asli” Indonesia.
Selain itu, budaya juga dapat dibedakan menurut komponen material dan nonmaterial yang menyusunnya. Komponen material misalnya makanan, teknologi, pakaian, rumah, dan sejenisnya. Sementara komponen nonmaterial termasuk bahasa, nilai, keyakinan, tata perilaku, dan sejenisnya.
Budaya tidak statis melainkan dinamis. Budaya baru, apapun itu, tatkala memasuki suatu ranah budaya lain akan mengalami proses percampuran. Pasca percampuran tersebut, muncul suatu budaya jenis “baru” yang khas. Ia sulit disamakan begitu saja dengan yang “lama” atau “baru.” Proses percampuran budaya ini dinamakan sinkretisasi. Demikian pula budaya India dan Buddha ini, selain mempertahankan wujud-wujud aslinya, juga menampakkan pengaruh budaya “asli” Indonesia.
No comments:
Post a Comment